Radio Pada Perang Dunia II dan Proklamasi 1945

Radio Pada Perang Dunia II dan Proklamasi 1945 – “Saya ulang menunggu mendengarkan Hitler berpidato. Saya pun merasakan layaknya gembira dan termasuk mulai romantis mampu mendengarkan (kabar) segera dari Eropa.” Ungkapan selanjutnya curahan hati pendengar radio waktu krisis di Munich, Jerman, meledak terhadap September 1938. Pada bulan-bulan itu situasi Eropa bergejolak.

Taklah seberapa lama, selepas September, Hitler mengambil keputusan untuk menaruh masyarakat Jerman di lokasi Cekoslovakia, yang sesudah itu disebut Sudetenland. Dari krisis Munich, tercetus nama H. V. Kaltenborn, seorang komentator radio yang mengabarkan perang tersebut. Dari studio bernama Studio Nine di kota New York, melalui Columbia Broadcasting Company, ia menyiarankan peristiwa-peristiwa seputar krisis Munich itu. http://162.214.145.87/

Radio dan Pergeseran Konsumsi Berita Pada Perang Dunia II, radio bukanlah media kelewat asing bagi orang-orang Eropa dan Amerika Serikat. Saat akhiran 1930-an atau awal Perang Dunia II, radio menjadi media hiburan yang sangat populer bagi pendengar orang Amerika.

Dan selepas cuma dimanfaatkan untuk hiburan, radio pun menjelma sebagai saluran penyebaran informasi atau berita. Pada buku berjudul Radio Goes to War: The Cultural Politics of Propaganda During World War II, yang ditulis oleh Gerd Horten, sejak awal dekade 1940-an radio telah berubah menjadi sumber berita utama. Perubahan itu memicu stasiun radio menyiarkan program-program berita secara berkala. Saat akhir dekade 1930-an, program berita, bincang politik, dan komentar peristiwa hanya mengisi porsi 5 persen dari keseluruhan program radio.

Radio Pada Perang Dunia II dan Proklamasi 1945

Di samping pada pertengahan 1940-an, jumlahnya meningkat menjadi 20 persen. Jelas bahwa, perubahan radio sebagai pembawa berita tak luput pula mengabarkan kabar-kabar dari medan perang. Horten didalam bukunya menulis sesudah Perang Dunia II, ada 60 komentator yang khusus mengabarkan momen peperangan melalui siaran radio. Salah satu berasal dari pendengar berita-berita perang dunia melalui radio, sebagaimana dikutip Horten, mengungkapkan: “Kami menaruh kepercayaan yang besar terhadap siaran (radio). Pada krisis (perang) ini, (radio) menjangkau semua orang. Itulah mengapa radio ada di sini.”

Radio dan Revolusi Indonesia

Tak cuma didalam mengudara di Amerika Serikat atau negara-negara Eropa, radio pun ada di Indonesia. Masduki didalam Jurnalistik Radio: Menata Profesionalisme Reporter dan Penyiar mengungkapkan radio udah eksis sejak Belanda tetap berkuasa di Hindia Belanda. Selain dari pada berperan sebagai medium hiburan, melalui NIROM (Nederlandsch-Indische Radio Omroep Maatschappij), Pemerintah Belanda menjadikan radio sebagai alat propaganda dan kontrol politik. Radio juga berperan menyebarkan berita. Kabar megenai serangan Jepang terhadap pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbour bahkan terdengar di Indonesia via radio. Pengarang Pramoedya Ananta Toer merupakan salah seorang Indonesia yang mendengarkan informasi pengeboman Pearl Harbour melalui radio. Rudolf Mrazek dalam Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni menukil ingatan Pramoedya sementara bersekolah di sekolah radio di Surabaya.

Saat Desember 1941, Pramoedya mengenang: “Ketika kami semua duduk di satu deretan kursi di laboratorium besar itu, radio paling kuat di sekolah itu dihidupkan dan dipasang ke pemancar Batavia. Suatu sinyal masuk, terlampau susah tapi tahu dan tak terlampau kasar, mengingat kenyataan sementara itu belum tersedia proses high-fidelity. Berita dengan bahasa Belanda itu mengabarkan pesawat-pesawat tempur Jepang telah menyerang Pearl Harbour tanpa peringatan di Hawai. Amerika memberikan pernyataan perang terhadap Jepang; Inggris juga. Lalu dibacakan pernyataan Hindia Belanda tentang perang melawan Jepang. Para murid itu melesat keluar ruang sekolah, melompat ke sepeda mereka, dan pergi ke rumah. Saya juga demikian.” Selepas masa Belanda, Jepang melakukan cara-cara yang hampir serupa terhadap radio. Rosihan Anwar pada Sutan Sjahrir: Negarawan Humanis, Demokrat Sejati yang Mendahului Zamannya mengungkapkan satu di antara hal pertama yang dilakukan Jepang adalah menyegel stasiun radio. Jepang berpusat pun pada komando radio-radio di Indonesia di bawah pengawasan NHK (Nippon Hoso Kyokai). Berbagai siaran yang mengudara diawasi secara ketat, sementara siaran dari luar negeri diputus oleh pemerintahan Dai Nippon.

Salah satu dari siaran yang direstui Jepang untuk didengarkan masyarakat Indonesia ialah sandiwara radio. Walau begitu, pemerintahan Jepang telah melakukan sensor dan memasukkan unsur-unsur propaganda dalam siaran sandiwara radio tersebut. Ketika 31 Oktober 1943, seperti disinggung Fandy Hutari dalam Sandiwara dan Perang: Propaganda di Panggung Sandiwara Modern Zaman Jepang, sebuah program radio bernama “Pantjaran Sastera” memulai sandiwara radio bernama Tjitji Kaeroe (Ajahkoe Poelang) karya Kikoetji Kwan. Pada siaran ini, terdengar kalimat: “… adalah langkah pertama dari Pantjaran Sastera ke arah perkenalan dan pertalian batin antara Bangsa Nippon dan Indonesia.”

Pantjaran Sastera adalah program radio yang diselenggarakan oleh Keimin Bunka Shindosho yang mengudara pada stasiun Radio Jakarta. Biarpun terlihat serius melakukan propaganda melalui radio, baik Belanda maupun Jepang tampaknya gagal untuk sepenuhnya menancapkan pengaruh di kepala orang Indonesia. Pasalnya, kepemilikan radio, apalagi oleh penduduk Indonesia, masih terbilang sangat kecil. Sebab dinilai masih terlalu kecil, Jepang mendirikan pengeras suara atau menara radio di banyak tempat publik. Kendati demikian, akibat pengawasan yang ketat, tak sembarang informasi bisa didapatkan masyarakat. Cuma berita yang telah disetujui Jepang yang boleh didengarkan dan disiarkan.

Radio Sjahrir dan Proklamasi Kemerdekaan

Radio Pada Perang Dunia II dan Proklamasi 1945

Akan tetapi, setidaknya ada satu sosok yang lolos kontrol sensor Jepang saat mendengarkan siaran radio. Sosok tersebut Sutan Sjahrir. Merujuk pada buku berjudul Mengenang Sjahrir: Seorang Tokoh Pejuang Kemerdekaan yang Tersisihkan dan Terlupakan karya Rosihan Anwar, Sjahrir memiliki satu unit radio berwarna gelap dan tidak tersegel. Artinya, satu unit radio itu ilegal. Dan perihal tersebut tak disenangi oleh Jepang karena radio macam ini dimungkinkan untuk menangkap siaran radio yang belum disensor oleh Jepang. Risikonya begitu besar mempunyai radio secara ilegal seperti ini. Radio itu disembunyikan Sjahrir di kamar tidurnya. Memakai radio berwarna gelap tak tersegel itulah, Rosihan menguraikan, Sjahrir dapat menangkap siaran-siaran berita luar negeri yang tidak disiarkan Jepang. Tergolong siaran dari radio Brisbane yang dipancarkan Pemerintah Hindia Belanda dalam pembuangan di Australia. Dari siaran tersebut, Sjahrir bahkan mendengarkan informasi tentang teman-teman di pembuangannya.

Sjahrir pun di antara orang pergerakan paling awal yang berhasil mengetahui rentetan kekalahan Jepang dari Sekutu di pelbagai front pertempuran di Pasifik. Saat 10 Agustus 1945, Sjahrir telah mengetahui bahwa Jepang akan menyerah pada Sekutu selepas bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki dari siaran radio yang ia dengarkan. Berdasarkan informasi yang ia miliki itu, Sjahrir menyuruh orang-orang kepercayaannya untuk mengantarkan informasi tentang kekalahan Jepang kepada Hatta. Hatta kala itu baru saja mendarat dari Dalat, Vietnam. Dengan Sukarno, ia diberikan janji bahwa Jepang akan memberikan kemerdekaan Indonesia.

Melewati informasi itulah, Sjahrir hendak memberi peringatan: Lupakan janji Jepang karena Jepang sendiri sudah keok dan segeralah nyatakan kemerdekaan tanpa embel-embel Jepang. Rosihan Anwar menguraikan kegiatan Sjahrir itu semacam “bernapas di bawah tanah” alias underground. Sukarno mengakui kepada penulis biografinya, Cindy Adams, mengenai kegiatan Sjahrir tersebut, kendati dengan intensi meremehkan: “Apa, sih, underground Sjahrir itu? Cuma mendengarkan siaran radio luar negeri secara diam-diam,” ungkap Sukarno. Yang dianggap “hanya” oleh Sukarno itu, pada dasarnya, bagian tak terpisahkan dari sejarah kelahiran proklamasi Indonesia.

Urutan peristiwanya, jika diringkas, menjadi begini: (1) karena informasi soal kekalahan Jepang itu, para pemuda mendesak Sukarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan selekas-lekasnya, (2) Sukarno-Hatta menolak desakan itu; (3) para pemuda kemudian “menculik” Sukarno-Hatta ke Rengasdengklok.

Back to top